Senin, 18 Juni 2012


SIKAP PROFESIONAL KEGURUAN

A. Pengertian Sikap Profesional Keguruan 

          Guru sebagai professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
            Walaupun segala prilaku guru selalu diperhatikan masyarakat, tetapi yang akan dibicarakan dalam bagian ini adalah khusus prilaku guru yang berhubungan dengan profesinya
Guru yang Profesional
Menjadi profesional adalah tuntutan setiap profesi, seperti dokter, insinyur, pilot, ataupun profesi yang telah familiar ditengah masyarakat. Akan tetapi guru…? Sudahkan menjadi profesi dengan kriteria diatas. Guru jelas sebuah profesi. Akan tetapi sudahkah ada sebuah profesi yang profesional…? Minimal menjadi guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Apabila keahlian tersebut tidak dimiliki, maka tidak dapat disebut guru. Artinya tidak sembarangan orang bisa menjadi guru.
Kalau mengacu pada konsep di atas, menjadi profesional adalah meramu kualitas dengan intergiritas, menjadi guru pforesional adalah keniscayaan. Namun demikian, profesi guru juga sangat lekat dengan peran yang psikologis, humannis bahkan identik dengan citra kemanusiaan. Karena ibarat sebuah laboratorium, seorang guru seperti ilmuwan yang sedang bereksperimen terhadap nasib anak manusia dan juga suatu bangsa.Ada beberapa kriteria untuk menjadi guru profesional.
Secara umum, sikap profesional seorang guru dilihat dari faktor luar. Akan tetapi, hal tersebut belum mencerminkan seberapa baik potensi yang dimiliki guru sebagai seorang tenaga pendidik. Menurut PP No. 74 Tahun 2008 pasal 1.1 Tentang Guru dan UU. No. 14 Tahun 2005 pasal 1.1 Tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalar pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, dan kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU. No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pasal 1.4). Guru sebagai pendidik professional dituntut untuk selalu menjadi teladan bagi masyarakat di sekelilingnya.
1. Sikap Pada Peraturan
Pada butir sembilan Kode Etik Guru Indonsia disebutkan bahwa : ” Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan” (PGRI,1973). Kebijaksanaan pendidikan di negara kita dipegang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh aparatur dan abdi negara. Guru mutlak merupakan unsur aparatur dan abdi negara. Karena itu guru harus`mengetahui dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Setiap Guru di Indonesia wajib tunduk dan taat terhadap kebijaksanaan dan peraturan yang ditetapkan dalam bidang pendidikan, baik yang dikeluarkan oleh Depdikbud maupun departemen lainnya yang berwenang mengatur pendidikan. Kode Etik Guru Indonesia memiliki peranan penting agar hal ini dapat terlaksana.
2. Sikap Terhadap Organisasi Profesi
Dalam UU. No 14 Tahun 2005 pasal 7.1.i disebutkan bahwa ” guru harus memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.”
Pasal 41.3 menyebutkan ” Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi” Ini berarti setiap guru di Indonesia harus tergabung dalam suatu organisasi yang berfungsi sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Di Indonesia organisasi ini disebut dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dalam Kode `Etik Guru Indonesia butir delapan disebutkan : Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. Ini makin menegaskan bahwa setiap guru di Idonesia harus tergabung dalam PGRI dan berkewajiban serta bertanggung jawab untuk menjalankan, membina, memelihara dan memajukan PGRI sebagai organisasi profesi. Baik sebagai pengurus ataupun sebagai anggota. Hal ini dipertegas dalam dasar keenam kode etik guru bahwa Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan, dan meningkatkan martabat profesinya. Peningkatan mutu profesi dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, studi perbandingan dan berbagai kegiatan akademik lainnya. Jadi kegiatan pembinaan profesi tidak hanya terbatas pada pendidikan prajabatan atau pendidikan lanjutan di perguruan tinggi saja, melainkan dapat juga dilakukan setelah lulus dari pendidikan prajabatan ataupun dalam melaksanakan jabatan.
3. Sikap Terhadap Teman Sejawat
Dalam ayat Kode Etik Guru disebutkan bahwa ” Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.” Ini berarti bahwa:
1. Guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya.
2. Guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya.
Dalam hal ini ditunjukkan bahwa betapa pentingnya hubungan yang harmonis untuk menciptakan rasa persaudaraan yang kuat di antara sesama anggota profesi. Di lingkungan kerja, yaitu sekolah, guru hendaknya menunjukkan suatu sikap yang ingin bekerja sama, menghargai, pengertian, dan rasa tanggung jawab kepada sesama personel sekolah. Sikap ini diharapkan akan memunculkan suatu rasa senasib sepenanggungan, menyadari kepentingan bersama, dan tidak mementingkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Sehingga kemajuan sekolah pada khususnya dan kemajuan pendidikan pada umumnya dapat terlaksana. Sikap ini hendaknya juga dilaksanakan dalam pergaulan yang lebih luas yaitu sesama guru dadri sekolah lain.
4. Sikap Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia disebutkan : ”Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila”. Dasar ini mengandung beberapa prinsip yang harus dipahami seorang guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, yakni: tujuan pendidikan nasional, prinsip membimbing, dan prinsip pembentukan manusia Indonesia yang seutuhnya.
Tujuan Pendidikan Nasional sesuai dengan UU. No. 2/1989 yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila. Prinsip yang lain adalah membimbing peserta didik, bukan mengajar, atau mendidik saja. Pengertian membimbing seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Kalimat ini mengindikasikan bahwa pendidikkan harus memberi contoh, harus dapat memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta didik.
Prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh baik jasmani maupun rohani, tidak hanya berilmu tinggi tetapi juga bermoral tinggi pula. Dalam mendidik guru tidak hanya mengutamakan aspek intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan seluruh pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial, maupun yang lainnya sesuai dengan hakikat pendidikan.
5. Sikap Tempat Kerja
Untuk menyukseskan proses pembelajaran guru harus bisa menciptakan suasana kerja yang baik, dalam hal ini adalah suasana sekolah. Dalam kode etik dituliskan: ”Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar.” Oleh sebab itu guru harus aktif mengusahakan suasana baik itudengan berbagai cara, baik dengan penggunaan metode yang sesuai, maupun dengan penyediaan alat belajar yang cukup, serta pengaturan organisasi kelas yang mantap, ataupun pendekatan yang lainnya yang diperlukan.
Selain itu untuk mencapai keberhasilan proses pembelajaran guru juga harus mampu menciptakan hubungan yang harmonis antar sesama perangkat sekolah, orang tua siswa dan juga masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengundang orang tua sewaktu pengambilan rapor, membentuk BP3 dan lain- lain.
B. Ciri-Ciri Guru Yang Profesional
Memiliki skill/keahlian dalam mendidik atau mengajar
Menjadi guru mungkin semua orang bisa. Tetapi menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidikan atau mengajar perlu pendidikan, pelatihan dan jam terbang yang memadai. Dalam kontek diatas, untuk menjadi guru seperti yang dimaksud standar minimal yang harus dimiliki adalah:
Memiliki kemampuan intelektual yang memadai
Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan
Keahlian mentrasfer ilmu pengetahuan atau  metodelogi pembelajaran
Memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan
Kemampuan mengorganisir dan problem solving
Kreatif dan memiliki seni dalam mendidik
Personaliti Guru
Profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contonya. Guru (digugu dan ditiru)  otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge)  tetapi juga menanamkan nilai – nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak.
Memposisikan profesi guru sebagai  The High Class Profesi
Di negeri ini sudah menjadi realitas umum  guru bukan menjadi profesi yang berkelas baik secara sosial maupun ekonomi. Hal yang biasa, apabila menjadi Teller di sebuah Bank, lebih terlihat high class dibandingkan guru. jika ingin menposisikan profesi guru setara dengan profesi lainnya,  mulai di blow up bahwa profesi guru strata atau derajat yang tinggi dan dihormati dalam masyarakat. Karena mengingat begitu fundamental peran guru bagi proses perubahan dan perbaikan di masyarakat.
Program Profesionalisme Guru
Pola rekruitmen yang berstandar dan selektif
Pelatihan yang terpadu, berjenjang dan berkesinambungan (long life eduction)
Penyetaraan pendidikan dan membuat standarisasi mimimum pendidikan
Pengembangan diri dan motivasi riset
Pengayaan kreatifitas untuk menjadi guru karya (Guru yang bisa menjadi guru)
Peran Manajeman Sekolah
Fasilitator program Pelatihan dan Pengembangan profesi
Menciptakan jenjang karir yang fair dan terbuka
Membangun manajemen dan sistem ketenagaan yang baku
Membangun sistem kesejahteraan guru berbasis prestasi
C. Hambatan-hambatan menjadi guru yang profesional
Banyak hambatan yang dihadapi seorang guru untuk menjadi guru yang baik. Beberapa hambatan tersebut diantaranya adalah:
1. Gaji yang terlalu pas-pasan bahkan mungkin kurang. Gaji yang pas-pasan memaksa seorang guru untuk mencari nafkah tambahan seusai jam kerja. Hal ini mengakibatkan tidak memiliki kesempatan untuk membuat persiapan mengajar dengan membaca ulang materi pelajaran yang akan diajarkan besok hari. Hal ini dapat mengurangi kesiapan dan penampilan di muka kelas.
2. Tugas-tugas administrasi yang memberatkan. Sejak diberlakukannya kurikulum 2006, banyak tugas-tugas administrasi yang harus dikerjakan seorang guru yang tujuannya untuk meningkatkan profesionalitas seorang guru. Ternyata tugas-tugas ini menjadi beban yang cukup berat dan hampir tidak ada manfaatnya untuk menambah penampilan dan kesiapan seorang guru di muka kelas. Sebagian besar tugas administrasi dibuat dengan setengah terpaksa hanya untuk menyenangkan hati atasan. Sebagai contoh, seorang guru diwajibkan membuat KTSP, Silabus dan Tetek bengek yang lain, yang memaksa guru menuliskan uraian yang sama pada tugas pertama dan ditulis ulang pada tugas kedua dan tugas ketiga. Semuanya ini tidak pernah dipakai untuk meringankan beban mengajar di kelas karena tugas-tugas tersebut tidak pernah dibaca lagi pada waktu akan/dan sedang mengajar. Seorang guru lebih suka membuka dan membaca buku pegangan mengajar daripada membawa Program Satuan Mengajar, Analisis Materi Pelajaran ataupun Rencana Pengajaran. Tugas-tugas ini memang sangat berguna bagi seorang calon guru. Tapi bagi guru yang sudah mengajar lebih dari tiga tahun, tugas ini hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia
Bagaimana menguasai bahan tergantung pada kemampuan guru unuk menggunakan teknik-teknik mengajar dan alat-alat pengajaran yang dapat menjamin murid dapat berhasil dalam belajarnya.Guru perlu pula memehami prinsip dan tahu bagaimana prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan pada muridnya,Karena itu prosedur mengajar harus disuaikan dengan prinsip-prinsip mengajar.biasanya guru yang efektif adalah guru yang menyesuaikan prosedur mengajarnya dengan pengetahuannya tentang prinsip-prinsip psikologi serta pengertian tentang kemampuan tentang murid-muridnya.
Fungsi pendidikan yang semakin bertambah penting adalah membimbing murid mengembangkan sikap dan pola-pola tingkah laku yang dapat di terima oleh masyarakat.Aspek social dari pendidikan ini tidak dapat dipisahkan dari aspek personalnya.Reaksi-reaksi emosional anak didik di rumah,di sekolah ataupun di masyarakat merupakan pengalaman-pengalaman yang dapat mengembangkankan sikap.Meskipun para psikolog,sosiolog,para pendidik,dan tokoh masyarakat berusaha meningkat kan dan memperbaiki situasi serta kondisi rumah tangga dan masyarakat yang dapat menangkal siskap-sikap antisocial pada diri anak tetapi tanggung jawab membentuk sikap itu merupaakan fungsi sekolah yang perdana.
Situasi belajar mengajar itu mempunyai implikasi-implikasi emosional.Sikap guru terhadap murid, terhadap pekerjaannya, terhadap hidup umumnya perpengaruh sekali terhadap  sikap emosional murid.Konsekuensinya,seperti apakah pribadi guru itu berpengaruh sekali terhadap keberhasilan mengajar dan belajar ketimbang luas serta dalamnya pengetahuan yang dimiliki dan cara pendekatannya dalam mengajar.
Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat
bersosialisasi dengan baik. Profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip profesional. Mereka harus memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme, memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya, memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya, mematuhi kode etik profesi, memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas, memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya, memiliki kesempatan untuk  mengembangkan profesinya secara berkelanjutan, memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas  profesionalnya, dan  memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Bila kita mencermati prinsip-prinsip profesional di atas, kondisi kerja pada dunia pendidikan di Indonesia masih memiliki titik lemah pada hal-hal berikut.
1. Kualifikasi dan latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan bidang tugas. Di  lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar  belakang pendidikan yang dimilikinya.
2. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat  kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil  mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
3. Penghasilan tidak  ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Sementara ini guru yang berprestasi dan yang tidak berprestasi mendapatkan penghasilan yang sama. Memang benar  sekarang terdapat program sertifikasi. Namun, program tersebut tidak memberikan peluang kepada seluruh guru.  Sertifikasi hanya dapat diikuti oleh guru-guru yang ditunjuk kepala sekolah yang notabene akan berpotensi subjektif.
4. Kurangnya kesempatan untuk mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Banyak guru yang terjebak pada  rutinitas. Pihak berwenang pun tidak mendorong guru ke arah pengembangan kompetensi diri ataupun karier. Hal itu  terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan  guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu  bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan  atau role model.



PENUTUP
Simpulan
Dari pemaparan tentang sikap, sasaran penyikapan, dan pengembangan profesional keguruan, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Sikap profesional keguruan adalah pola tingkah laku yang berhubungan dengan sikap kemampuan dan sikap profesionalnya sesuai dengan sasaran penyikapan profesional.
2. Sasaran penyikapan profesional keguruan, yakni sikap profesional keguruan terhadap peraturan perundang-undangan, organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja, pemimpin, dan pekerjaan. 
3. Pengembangan sikap profesional dapat dilakukan baik semasih dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).

Saran
1. Sebagai profesional, guru harus selalu meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara terus-menerus agar selanjutnya guru tetap menjadi panutan bagi masyarakat luas.
2. Sebagai jabatan yang harus dapat menjawab tantangan perkembangan masyarakat, jabatan guru harus selalu dikembangkan dan dimuktahirkan. Dalam bersikap hendaknya guru selalu mengadakan pembaharuan sesuai dengan tuntutan tugasnya. 




DAFTAR PUSTAKA

Prof.SOETJIPTO dan Drs.RAFLIS KOSASI,M.Sc.1994,Profesi Keguruan.Rineka Cipta.
Hermawan S,R. 1979.Etika Keguruan:Suatu Pendekatan Terhadap kode etik guru Indonesia. Jakarta: PT. Margi wahyu.
PGRI. 1973. Buku Kenang-kenangan Kongres PGRI XIII 21 s.d 25 November 1973 dan HUT PGRI XXIII. Jakarta: PGRI


SUMBER BELAJAR

A. Definisi Sumber Belajar 
Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Sumber belajar mencakup apa saja yang dapat digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan manampilkan kompetensinya. Sumber belajar meliputi, pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar (AECT 1994), Menurut Dirjen Dikti (1983: 12), sumber belajar adalah segala sesuatu dan dengan mana seseorang mempelajari sesuatu. Degeng (1990: 83) menyebutkan sumber belajar mencakup semua sumber yang mungkin dapat dipergunakan oleh si-belajar agar terjadi prilaku belajar. Dalam proses belajar komponen sumber belajar itu mungkin dimanfaatkan secara tunggal atau secara kombinasi, baik sumber belajar yang direncanakan maupun sumber belajar yang dimanfaatkan.
Dalam pemanfaatan sumber belajar, guru mempunyai tanggung jawab membantu peserta didik belajar agar belajar lebih mudah, lebih lancar, lebih terarah. Oleh sebab itu guru dituntut untuk memiliki kemampuan khusus yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar. Menurut Ditjend. Dikti (1983: 38-39), guru harus mampu: (a) Menggunakan sumber belajar dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. (b) Mengenalkan dan menyajikan sumber belajar. (c) Menerangkan peranan berbagai sumber belajar dalam pembelajaran. (d) Menyusun tugas-tugas penggunaan sumber belajar dalam bentuk tingkah laku. (e) Mencari sendiri bahan dari berbagai sumber. (f) Memilih bahan sesuai dengan prinsip dan teori belajar. (g) Menilai keefektifan penggunaan sumber belajar sebagai bagian dari bahan pembelajarannya. (h) Merencanakan kegiatan penggunaan sumber belajar secara efektif.
Di samping kemampuan di atas, guru perlu (1) mengetahui proses komunikasi dalam proses belajar, yang bahannya diperoleh dari teori komunikasi dan psikologi pendidikan, (2) mengetahui sifat masing-masing sumber belajar, baik secara fisik maupun sifat-sifat yang ditimbulkan oleh faktor lain yang mempengaruhi sumber belajar tersebut, (3) memperolehnya, yaitu tahu benar dimana lokasi suatu sumber dan bagaimana cara memberikan pelayanannya. Kemampuan tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa guru perlu menyadari pentingnya kemampuan-kemampuan khusus yang dikembangkan bila menginginkan proses belajar mencapai sasaran yang optimal. Sajian ini akan mencoba menyoroti dari 3 (tiga) bagian yaitu, sumber belajar, pemanfaatan sumber belajar, dan pengelolaan sumber belajar.
B. Perkembangan Sumber Belajar
1. Sumber Belajar Praguru
Pada zaman praguru, sumber belajar utamanya adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok karena sumber belajar lainnya dianggap belum ada atau masih sangat langka (Sadiman, 1989: 143). Bentuk benda yang digunakan sebagai sumber belajar antara lain adalah : batu-batu, debu, daun-daunan, kulit pohon, kulit binatang dan kulit karang. Isi pesan itu sendiri ada yang disajikan dengan isyarat verbal dan ada yang menggunakan tulisan. Perbedaan ini terletak pada tingkat kemajuan peradaban masing-masing suku bangsa itu sendiri. Sumber belajar jumlahnya langka, sedangkan pencari pengetahuan jumlahnya lebih banyak, maka pengetahuan diperoleh dengan coba-coba sendiri. Oleh sebab itu kondisi pendidikan masih sederhana dan berada di bawah kontrol keluarga dan anggota masyarakat, pendidikan masih tertutup, rumusan tujuan pembelajaran tidak dirumuskan dalam kurikulum. Sehingga tidak ada keteraturan isi pembelajaran.

2. Lahirnya Guru sebagai Sumber Belajar Utama
Pendidikan pada zaman praguru tahap demi tahap berubah. Akibat perubahan itu terjadi pula perubahan pada sistem pendidikan dan pada kondisi sumber belajar komponen lainnya dari sistem tersebut. Dengan demikian terjadi perubahan pada cara pengelolaan, isi ajaran, peranan orang, teknik yang digunakan, desain pemilihan bahan, namun demikian sumber belajar masih sangat terbatas, sehingga kedudukan orang merupakan belajar utama. Proses belajar tidak lagi ditangani oleh anggota keluarga, tetapi sudah diserahkan kepada orang tertentu. Orang yang menangani secara khusus tentang pendidikan disebut Guru dibantu dengan sumber belajar penunjang yang berbentuk masih sederhana dan jumlahnya terbatas sekali. Oleh sebab itu kelancaran Proses Instruksional dan Kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru.
3. Sumber Belajar Dalam Bentuk Cetak
Adanya perkembangan industri yang cepat, pada akhirnya dapat diproduksi peralatan dan bahan yang jumlahnya besar. Dengan diketemukannya alat cetak, maka lahirlah sumber belajar baru yang berbentuk cetak lainnya yang belum pernah ada sebelumnya. Konsekuensi diketemukannya sumber belajar tersebut adalah terjadinya perubahan tugas dan peranan guru dalam pembelajaran. Semula guru merupakan sumber belajar utama yang mempunyai tugas sangat berat, dengan lahirnya sumber belajar cetak maka tugas guru menjadi ringan. Contoh sumber belajar cetak adalah: buku, komik, majalah, koran, panplet. Dengan lahirnya sumber belajar cetak ini, maka isi pembelajaran dapat diperbanyak dengan cepat dan disebarkan ke berbagai pihak dengan mudah, sehingga merupakan kejutan baru dalam sistem instruksional pada saat itu.


4. Sumber Belajar yang Berasal dari Teknologi Komunikasi
Dengan diketemukannya berbagai alat dan bahan (hardware dan software) pada abad 17, efeknya sangat besar terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan. Setelah timbul istilah teknologi dalam pendidikan yang pada akhir perang dunia kedua mulai berubah menjadi ilmu baru yang disebut teknologi pendidikan dan teknologi instruksional. Pengertian teknologi dalam pendidikan populer dengan istilah audio visual, yakni pemanfaatan bahan-bahan audio visual dan berbentuk kombinasi lainnya dalam sistem pendidikan.
Pada akhir perang dunia kedua mulai timbul suatu kecendrungan baru dalam bidang audiovisual kearah dua kerangka konseptual baru yang paralel, yaitu teori komunikasi dan konsep sistem (AECT, 1977). Karena pengaruh-pengaruh ilmu sosial seperti: psikologi, sosiologi, komunikasi, teori belajar, maka cara mendesain sumber belajar lebih terarah, lebih spesipik dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Sumber belajar seperti ini lebih populer dengan istilah media instruksional. Misalnya: program televisi pendidikan, program radio pendidikan, film pendidikan, slide pendidikan, komputer pendidikan dan lain-lain. Keempat perkembangan sejarah sumber belajar ini oleh Eric Ashby dalam Sadiman (1989), disebut sebagai empat perkembangan keajaiban yang terjadi dalam dunia pendidikan sehingga dianggap sebagai revolusi pendidikan.
5. Sumber Belajar yang Didesain dan Dimanfaatkan.
Sumber belajar yang didesain untuk keperluan belajar telah banyak dikenal orang. Namun demikan tidak semua sumber yang didesain untuk keperluan pendidikan. AECT dalam Miarso (1986: 88) disebutkan bahwa ada kesangsian apakah fasilitas yang ada dalam masyarakat, misalnya museum semuanya itu didesain khusus terutama untuk pembelajaran peserta didik sekolah dalam bidang yang sesuai dengan kurikulum. Kenyataan bahwa sumber-sumber ini dimanfaatkan untuk membantu belajar manusia, membuat semuanya itu menjadi sumber belajar.
Kelompok yang kedua, sumber yang dimanfaatkan, sama pentingnya dengan sumber belajar yang didesain. Beberapa sumber dapat dimanfaatkan untuk memberikan fasilitas belajar karena memang sumber itu khusus didesain untuk keperluan belajar. Inilah yang disebut bahan atau sumber instruksional. Sumber yang lain, ada sebagian dari kenyataan yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun dapat ditemukan, diaplikasikan, dan digunakan untuk keperluan belajar. Inilah yang disebut sebagai: Sumber belajar dari dunia nyata. Jadi, sebagian sumber menjadi sumber belajar karena didesain untuk itu, sedangkan yang lainnya menjadi sumber belajar karena dimanfaatkan.
C. Fungsi/Manfaat Sumber Belajar
Sumber belajar memiliki fungsi sebagai berikut :
1.  Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: 
(a) mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu secara lebih baik dan 
(b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah. 
2.  Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: 
(a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional; dan 
(b) memberikan kesempatan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan kemampuannnya. 
3.  Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: 
(a) perancangan program pembelajaran yang lebih sistematis; dan 
(b) pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi oleh penelitian. 
4.  Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: 
(a) meningkatkan kemampuan sumber belajar; 
(b) penyajian informasi dan bahan secara lebih kongkrit. 
5.  Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: 
(a) mengurangi kesenjangan antara pembelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas yang sifatnya kongkrit; 
(b) memberikan pengetahuan yang sifatnya langsung. 
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis. 
D. Peranan Sumber Belajar dalam Proses Pembelajaran
Sumber belajar mempunyai peran yang sangat erat dengan pembelajaran yang dilakukan, adapun peranan tersebut dalam pembelajaran adalah sebagai berikut :
1. Peranan sumber belajar dalam pembelajaran Individual.
Pola komunikasi dalam belajar individual sangat dipengaruhi oleh peranan sumber belajar yang dimanfaatkan dalam proses belajar. Titik berat pembelajaran individual adalah pada peserta didik, sedang guru mempunyai peranan sebagai penunjang atau fasilitator. 

Dalam pembelajaran individual terdapat tiga pendekatan yang berbeda yaitu :
1. Front line teaching method, dalam pendekatan ini guru berperan menunjukkan sumber belajar yang perlu dipelajari.
2. Keller Plan, yaitu pendekatan yang menggunakan teknik personalized system of instruksional (PSI) yang ditunjang dengan berbagai sumber berbentuk audio visual yang didesain khusus untuk belajar individual.
3. Metode proyek, peranan guru cenderung sebagai penasehat dibanding pendidik, sehingga peserta didiklah yang bertanggung jawab dalam memilih, merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan belajar.

2. Peranan Sumber Belajar dalam Belajar Klasikal
Pola komunikasi dalam belajar klasikal yang dipergunakan adalah komunikasi langsung antara guru dengan peserta didik. Hasil belajar sangat tergantung oleh kualitas guru, karena guru merupakan sumber belajar utama. Sumber lain seolah-olah tidak ada peranannya sama sekali, karena frekuensi belajar didominari interaksinya dengan guru. 
Pemanfaatan sumber belajar selain guru, sangat selektif dan sangat ketat di bawah petunjuk dan kontrol guru. Di samping itu guru sering memaksakan penggunaan sumber belajar yang kurang relevan dengan ciri-ciri peserta didik dan tujuan belajar, hal ini terjadi karena sumber belajar yang tersedia terbatas. Peranan Sumber Belajar secara keseluruhan seperti terlihat dalam pola komunikasinya selain guru rendah. Keterbatasan penggunaan sumber belajar terjadi karena metode pembelajaran yang utama hanyalah metode ceramah. Menurut Percipal and Ellington (1984), bahwa perhatian yang penuh dalam belajar dengan metode ceramah (attention spannya) makin lama makin menurun drastis. Misalnya dalam 50 menit belajar, maka pada awal belajar attention spannya berkisar antara 12-15 menit, kemudian makin mendekati akhir pelajaran turun menjadi 3-5 menit.
Di samping itu British Audio Visual Association (1985), menyatukam bahwa 75 % pengetahuan diperoleh melalui indera penglihatan, 13 % indera pendengaran, 6 % indera sentuhan dan rabaan dan 6 % indera penciuman dan lidah. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh perusahaan SOVOCOM COMPANY di Amerika dalam Sadiman (1989: 155-156), tentang kemampuan manusia dalam menyimpan pesan adalah : verbal (tulisan) 20%, Audio saja 10%, visual saja 20%, Audio visual 50%. Tetapi kalau proses belajar hanya menggunakan methode (a) Membaca saja, maka pengetahuan yang mengendap hanya 10% (b) Mendengarkan saja pengetahuan yang mengendap hanya 20%. (c) Melihat saja pengetahuan yang mengendap bisa 50%. Dan (e) Mengungkapkan sendiri pengetahuan yang mengendap bisa 80%. (f) Mengungkapkan sendiri dan mengulang pada kesempatan lain 90%. Dari penjelasan tersebut diatas, bahwa guru harus pandai memilih dan mengkombinasikan metode pembelajaran dengan belajar yang ada.
3. Peranan Sumber Belajar dalam Belajar Kelompok
Pola komunikasi dalam belajar kelompok, menurut Derek Rowntere dalam bukunya Educational Technologi in Curriculum Development (1982), menyajikan dua pola komunikasi yang secara umum ditetapkan dalam belajar yaitu pola
1. Buzz sessions (diskusi singkat) adalah kemampuan yang diperoleh peserta didik untuk didiskusikan singkat sambil jalan. Sumber belajar yang digunakan adalah materi yang digunakan sebelumnya.
2. Controllet discussion (diskusi dibawah kontrol guru), sumber belajarnya antara lain adalah bab dari suatu buku, materi dari program audio visual, atau masalah dalam praktek laboratorium
3. Tutorial adalah belajar dengan guru pembimbing, sumber belajarnya adalah masalah yang ditemui dalam belajar, harian, bentuknya dapat bab dari buku, topik masalah dan tujuan instruksional tertentu.
4. Team project (tim proyek) adalah suatu pendekatan kerjasama antar anggota kelompok dengan cara mengenai suatu proyek oleh tim.
5. Simulasi (persentasi untuk menggambarkan keadaan yang sesungguhnya).
6. Micro teaching, (proyek pembelajaran yang direkam dengan video).
7. Self helf group (kelompok swamandiri).
E. Jenis sumber belajar
Secara garis besarnya, terdapat dua jenis sumber belajar yaitu:
1. Sumber belajar yang dirancang (learning resources by design), yakni sumber belajar yang secara khusus dirancang atau dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal. 
2. Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran 
Dari kedua macam sumber belajar, sumber-sumber belajar dapat berbentuk: 
1. pesan: informasi yang akan disampaikan oleh komponen lain; dapat berbentuk ide, fakta, makna dan data.
2. orang: orang yang bertindak sebagai penyimpan dan menyalurkan pesan antara lain: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya.
3. bahan: barang-barang yang berisikan pesan untuk disampaikan dengan menggunakan peralatan; kadang-kadang bahan itu sendiri sudah merupakan bentuk penyajian contohnya: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya.
4. alat/ perlengkapan: barang-barang yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat pada bahan misalnya: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan sebagainya. 
5. pendekatan/ metode/ teknik: prosedur atau langkah-langkah tertentu dalam menggunakan bahan, alat, tata tempat, dan orang untuk menyampaikan pesan; misalnya: disikusi, seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat, talk shaw dan sejenisnya.
6. lingkungan/latar: lingkungan dimana pesan diterima oleh pelajar; misalnya: ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan sebagainya.

KESIMPULAN

Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. 
Sumber belajar memiliki fungsi sebagai berikut :
1.  Meningkatkan produktivitas pembelajaran dengan jalan: 
2.  Memberikan kemungkinan pembelajaran yang sifatnya lebih individual, dengan cara: 
3.  Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan cara: 
4.  Lebih memantapkan pembelajaran, dengan jalan: 
5.  Memungkinkan belajar secara seketika, yaitu: 
6. Memungkinkan penyajian pembelajaran yang lebih luas, dengan menyajikan informasi yang mampu menembus batas geografis. 

DAFTAR PUSTAKA

AECT. 1977. Definisi Teknologi Pendidikan. (Diterjemahkan oleh PAU di Universitas Terbuka). Penerbit Manajemen PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Adaptasi dari : Depdiknas. 2004. Pedoman Merancang Sumber Belajar. Jakarta.


KODE ETIK GURU INDONESIA

Pengertian Kode Etik
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.
Tujuan kode etik
Agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Ketaatan tenaga profesional terhadap kode etik merupakan ketaatan naluriah yang telah bersatu dengan pikiran, jiwa dan perilaku tenaga profesional. Jadi ketaatan itu terbentuk dari masing-masing orang bukan karena paksaan. Dengan demikian tenaga profesional merasa bila dia melanggar kode etiknya sendiri maka profesinya akan rusak dan yang rugi adalah dia sendiri.
Kode etik bukan merupakan kode yang kaku karena akibat perkembangan zaman maka kode etik mungkin menjadi usang atau sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Misalnya kode etik tentang euthanasia (mati atas kehendak sendiri), dahulu belum tercantum dalam kode etik kedokteran kini sudah dicantumkan.
Kode etik disusun oleh organisasi profesi sehingga masing-masing profesi memiliki kode etik tersendiri. Misalnya kode etik dokter, guru, pustakawan, pengacara, Pelanggaran kde etik tidak diadili oleh pengadilan karena melanggar kode etik tidak selalu berarti melanggar hukum. Sebagai contoh untuk Ikatan Dokter Indonesia terdapat Kode Etik Kedokteran. Bila seorang dokter dianggap melanggar kode etik tersebut, maka dia akan diperiksa oleh Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia, bukannya oleh pengadilan.

Kode Etik Guru Indonesia
Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta pada kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, oleh kerena itu, Guru Indonesia terpangil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:
1. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
a. Guru menghormati hak individu dan kepribadian anak didiknya masing-masing
b. Guru berusaha mensusseskan pendidikan yang serasi (jasmaniyah dan rohaniyah) bagi anak didiknya
c. Guru harus menghayati dan mengamalkan pancasila
d. Guru dengan bersunguh-sunguh mengintensifkan Pendidikan Moral Pancasila bagi anak didiknya
e. Guru melatih dalam memecahkan masalah-masalah dan membina daya krasai anak didik agar kelak dapat menunjang masyarakat yang sedang membangun
f. Guru membantu sekolah didalam usaha menanamkan pengetahuan keterampilan kepada anak didik.
2. Guru memiliki kejujuran professional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing.
a. Guru menghargai dan memperhatikan perbedaan dan kebutuhan anak didiknya masing-masing
b. Guru hendaknya luwes didalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing
c. Guru memberi pelajaran di dalam dan di luar sekolah berdasarkan kurikulum tanpa membeda-bedakan Janis dan posisi orang tua muridnya
3. Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik,. Tetapi menghindarkan diri dari segtsala bentuk penyalah gunaan
a. Komunikasi Guru dan anak didik didalam dan diluar sekolah dilandaskan pada rasa kasih saying
b. Untuk berhasilnya pendidikan, maka Guru harus mengetahui kepribadian anak dan latar belakangt keluarganya masing-masing.
c. Komunikasi Guru ini hanya diadakan semata-mata untuk kepentingan pendidikan anak didik
4. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik
a. Guru menciptakan suasana kehidupan sekol;ah sehingga anak didik betah berada dan belajar di sekolah
b. Guru menciptakan hubungan baik dengan orang tua murid sehingga dapat terjalin pertukaran informasi timbale balik untuk kepentingan anak didik
c. Guru senantiasa menerima dengan lapang dada setiap kritik membangun yang disampaikan orang tua murid/ masyarakat terhadap kehidupan sekolahnya.
d. Pertemuan dengan orang tua murid harus diadakan secara teratur

5. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat disekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan
a. Guru memperluas pengetahuan masyarakat mengenai profesi keguruan
b. Guru turut menyebarkan program-progaram pendidikan dan lkebudayaan kepada masyarakat seketernya, sehingga sekolah tersebut turut berfubgsi sebagai pusat pembinaan dan pengembangan pendidikan dan kebudayaan ditempat itu
c. Guru harus berperan agar dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai unsur pembaru bagi kehidupan dan kemajuan daerahnya.
d. Guru turut bersama-sama masyarakat sekitarnya didalam berbagai aktifitas
e. Guru menusahakan terciptanya kerjasama yang sebaik-bainya antara sekolah, orang tua murid, dan masyarakat bagi kesempurnaan usaha pendidikan atas dasar kesadaran bahwa pendidikan merupakan tangung jawab nersama antara pemerintah, orang tua murid dan masyarakat.
6. Guru secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
a. Guru melanjutkan setudinya dengan :
b. Guru selalu bicara, bersikap dan bertindak sesuai dengan martabat profesinya,
7. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun didalam hubungan keseluruhan. pribadi
8. Guru secara bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan organisasi guru professional sebagai sarana pengabdiannya.
- Guru menjadi anggota dan membantu organisasi Guru yang bermaksud membina profesi dan pendidikan pada umumnya
- Guru senantiasa berusaha bagi peningkatan persatuan diantara sesame pengabdi pendidikan
- Guru senantiasa berusaha agar menghindarkan diri dari sikap-sikap ucapan, dan tindakan yag merugikan organisasi
9. Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan
- Guru senantiasa tunduk terhadap kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang pendidikan
- Guru melakukan tugas profesinya dengan disiplin dan rasa pengabdian
- Guru berusaha membantu menyebarkan kebijak sanaan dan program pemerintah dalam bidang pendidikan kepada orang tua murid dan masyarakat sekitarnya
- Guru berusaha menunjang terciptanya kepemimpinan pendidikan dilingkungan atau didaerahnya sebaik-baiknya.



KESIMPULAN

Dengan adanya kode etik guru, maka akan ada majelis kehormatan yang akan mengawal pelaksanaan kode etik tersebut. Jika ada guru yang melanggar kode etiknya, maka dewan kehormatan ini yang akan memberi sangsi kepada guru yang melanggar.
Dari pihak guru sendiri, pengakuan bahwa pekerjaan guru merupakan sebuah profesi akan memiliki beberapa arti. Pertama, dengan diakui sebagai sebuah profesi tentu akan meningkatkan salary mereka, sehingga mereka tidak perlu mencari obyekan lain untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan demikian mereka lebih memiliki waktu dan biaya untuk pengembangan keahliannya. Kedua, pengakuan tadi juga akan meningkatkan prestise pekerjaan guru.

DAFTAR PUSTAKA

Supriadi, D. 1998. Manajemen dan Kepemimpinan. Jakarta: Depdikbud. 
Surya, H.M. 1998. Organisasi & Profesi. No. 7/1998. Hlm. 15-17. 
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.


BUDAYA POLITIK ISLAM

Pengertian Budaya Politik Islam


Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O’G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Budaya politik berarti kecenderungan berperilaku individu terhadap sistem politik yang berlaku di negaranya. Dalam pendekatan budaya politik, individu merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat orang per oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan pendekatan filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab pendapat dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan, atau paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak. 
Sementara itu, sosialisasi politik merupakan instrumen yang berupaya melestarikan sebuah sistem politik. Melalui serangkaian mekanisme dalam sosialisasi politik, individu dari generasi selanjutnya dididik untuk memahami apa, bagaimana, dan untuk apa sistem politik yang berlangsung di negaranya masing-masing berfungsi untuk diri mereka.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)

Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.


Hakikat Budaya Politik Islam 
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam. 
Dilema Politik Budaya Islam 
Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi delematis. Dilema yang dihadapi menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya. 
1. Strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat Islam. 
2. Strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain. 
3. Strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan. 
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang". 
Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun, pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam. 
Pengendali reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada pihak atau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik. Pada masa modern sekarang ini sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada masa (M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada M-2 dan I-2. Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik lain. 
Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik. 
Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk. 
Problema Politik Budaya Islam 
Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam. 
Pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya. 
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik. 
Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka. 
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu. 
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam. 
Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik. 
Perubahan Politik Budaya Islam 
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an. 
Yang pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional. 
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya. 
Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. 

KESIMPULAN


Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk. 
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya.




DAFTAR PUSTAKA


Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Prof. Dr. Din Syamsudin 
Wawasan Sistem Politik Islam, Dr. Salim Ali al-Bahnasawi 
Al-Hamid, Syekh Muhammad, Rudud ‘ala Abathil , Beirut: al-Maktabahal-‘Ashriyyah, 1997.
Al-Khatib, Syarbini,Mughni al-Muhtaj, Mesir: dar al-Bab al-halabi wa Awladuhu,1958